(Kampus, syariahwalisongo.ac.id) – Wacana Ekonomi Islam beberapa tahun terakhir ini mencuat kembali di Indonesia. Sebagai wujudnya saat ini banyak praktisi-praktisi bank maupun lembaga non perbankkan sudah banyak beralih dengan menggunakan sistem ekonomi syariah (Islam).
Dengan semakin gencarnya wacana sistem ekonomi syariah, secara perlahan wacana penggunaan mata uang Islam klasik yaitu dinar dan dirham pun turut bergulir. Untuk menyikapi perkembangan itu, Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang kerjasama dengan IAEI Komisariat Walisongo Semarang menggelar seminar nasional dengan tema “Perkembangan Pemikiran Mata Uang Islam dan Implikasinya Terhadap Industri Keuangan Syariah Modern”, yang dilaksanakan Kamis, (21/3).
Diskusi yang dibanjiri audiens ini berlangsung di ruang sidang, lantai 2 Fakultas Syariah IAIN Walisongo. Meskipun sudah ada beberapa perkembangan dalam sistem ekonomi Islam, namun itu belum begitu signifikan jika dibandingan dengan konsep perbankan konvensional. Dari itu sebagai Fakultas yang juga terdapat jurusan ekonomi Islamnya harus terus mendorong konsep ekonomi yang berlandaskan syariah Islam. “Perkembangan ekonomi Islam hingga sekarang ini belum terlalu signifikan. Hal demikian harus selalu digali secara mendalam kendalanya dimana, apa karena SDM-nya atau karena sistemnya yang belum sempurna,” sambut Dr. H. Imam Yahya, M.Ag, dalam kesempatan membuka acara.
Hadir sebagai narasumber Dr. Muhammad Muflih, doktor muda dari Akademi Teknologi Bandung, Dr. H. Siti Mujibatun, M.Ag, pengarang buku, Konsep Uang Dalam Hadis dan Drs. Wahab Zaenuri, MM, Kaprodi D3 Perbankkan Syariah sekaligus praktisi lembaga BMT diberbagai kota.
Perbincangan mengenai ekonomi syariah, maka tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai mata uang Islam klasik yaitu dinar-dirham. “Dulu saya pendukung mata uang dinar-dirham, tapi sekarang saya menyadari apa adanya mengenai mata uang. Sebagai kaca mata saja, inflasi dari dinar-dirham mengakibatkan mayat bergelimpangan, alias kelaparan. Dari itu hingga saat ini masih ada pro dan kontra mengenai penerapan mata uang dinar-dirham,” papar Dr. Muhammad Muflih, dalam pemaparanya.
Dalam suatu jurnal ekonomi Islam internasional, sambung Dr. Muflih, diungkapkan bahwa hasil penelitian mengungkapkan bahwa tidak mungkin mata uang dinar-dirham diberlakukan kembali.
Bagi yang sepakat dengan penerapan mata uang dinar-dirham kerap memelintir pernyataan-pernyataan dari al-Ghozali yang juga banyak membahas mengenai dinar dan dirham dengan berlandaskan dalil-dalil Islam. Untuk sekarang ini sudah tidak mungkin menerapkan mata uang dinar dan dirham di negara kita. Karena mata uang rupiah sekarang ini dilindungi oleh perundang-undangan.
“Jika tetap memaksakan untuk mencetak. mata uang dinar-dirham maka bisa dibui. Karena mata uang diatur dalam perundang-undangan. Biarlah sistem ekonomi Islam berjalan seperti sekarang ini. Hanya yang harus diperbaiki adalah pelaksanaanya saja,” pungkas doktor muda ini.
Berbeda dengan Dr. H. Siti Mujibatun, dalam pemaparannya ia banyak mengkritisi aplikasi dari sistem ekonomi itu sendiri. Entah itu sistem ekonomi syariah atau konvensional. Karena banyak yang menyindir bahwa sekarang ini sistem ekonomi syariah tidak jauh beda dalam pelaksanaanya dengan ekonomi konvensional.
“Intinya, dari semua persoalan dalam perbankan itu yang paling fundamental itu adalah pada masalah riba dan bunga. Jika selama ini sistem ekonomi syariah menentang adanya riba dengan menggunakan sistem bagi hasil maka harus dilaksanakan. Karena sungguh suatu dosa jika apa yang kita ketahui tapi tidak kita lakukan,” sambung Dosen yang gemar menulis buku ini.
Dalam diskusi itu, ketiga narasumber masing-masing mempunyai perspektif yang beragam dalam memandang dunia perbankan. Khususnya dalam menentukan sistem bunga, riba, atau bagi hasil. Tentu masing-masing narasumber juga mempunyai pijakan metodologi yang berbeda pula.
Sebagai narasumber terakhir, Drs. Wahab Zaenuri, MM banyak mengkritisi lembaga keuangan yang menggunakan sistem bunga. Dalam pemaparanya, sistem bunga dapat menimbulkan inflasi besar-besaran dan juga menimbulkan kesenjangan sosial yang diakibatkan karena faktor ekonomi.
“Sistem bunga ini ibarat bendungan air. Semakin tinggi bendunganya maka air yang tertahan juga arus semakin deras. Ini hampir sama dengan sistem bunga dalam perbankan. Sehingga banyak menimbulkan kesenjangan sosial yang sangat berdeda di masyarakat,” papar Kaprodi D3 Perbankan ini.
Kesenjangan itu, lanjut Drs. Wahab Z, MM. akan sangat mencolok. Ia menggambarkan dalam tayangan slidenya bahwa akses dari sistem bunga ini kehidupan masyarakat sangat berbeda. Salah satu contohnya pada saat ini, mainan anak-anak sangat tergantung pada keadaan ekonomi. Bagi yang kaya, lanjut Drs. Wahab Z, MM, mereka bermain game dengan menggunakan laptop. Sementara bagi yang miskin mereka bermain dengan tulang belulang yang sudah menjadi tengkorak.
Diskusi yang hangat ini disambut dengan tepuk tangan dari audiens yang menandakan pernyataan atau pemaparan dari ketiga narasumber menarik perhatian peserta. (C3-P)
Leave A Comment