Dr H Ahmad Izzuddin MAg
“Hingga saat ini pun di Indonesia masih ada perbedaan penetapan awal bulan Hijriah versi ormas dan pemerintah “
HINGGA saat ini perbedaan aliran, metode, dan sistem hisab yang berkembang di Indonesia menjadi fakta yang tak dapat dimungkiri. Perkembangan itu mengikuti kapabilitas intelektualitas manusia dan perkembangan teknologi. Kita bisa mengamati tiap aliran muncul ke permukaan dengan membawa sistem masing-masing.
Namun, lebih bijak bagi Indonesia, yang umat Islam-nya sering berbeda pandangan dalam meyakini tanggal mengawali dan mengakhiri Ramadan, memiliki kriteria penanggalan yang mapan dan bisa menjadi kesepakatan. Terkait hal ini, upaya penyatuan kriteria penentuan awal bulan Kamariah (Qomariyah) telah dilakukan sejak pembentukan Badan Hisab Rukyat (BHR) pada 1972, di bawah Kemenag. Badan itu menyampaikan informasi kepada Menag terkait dengan penetapan awal Ramadan dan Idul Fitri.
Upaya lain dilakukan melalui berbagai pertemuan ataupun forum menyatukan pendapat kriteria penentuan awal bulan. Beberapa tahun terakhir pun pemerintah Indonesia mengadakan pertemuan, antara lain Lokakarya Nasional Mencari Kriteria Format Awal Bulan di Indonesia, di Bogor pada tahun lalu, dan dibuka oleh Menag.
Kegiatan itu menghadirkan pakar astronomi, ilmu falak, dan tokoh pimpinan organisasi masyarakat se-Indonesia (Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Wasiliyah, Al-Irsyad dan sebagainya) yang bertujuan merumuskan rekomendasi yang bisa menyelesaikan perbedaan penentuan awal bulan Kamariah di Indonesia.
Kemudian ada Sidang Badan Hisab Rukyat, tindak lanjut dari Musyawarah Nasional Hisab dan Rukyat, yang diselenggarakan oleh Ditjen Bimas Islam Kemenag di Jakarta pada 18-19 Juni 2012, dihadiri oleh majlis ulama, anggota BHR, perwakilan pemerintah (Kemenag), Mahkamah Agung, Planetarium, perguruan tinggi, dan perwakilan ormas Islam.
Akan menjadi upaya terbaik manakala masyarakat mendukung langkah-langkah pemerintah, dalam hal ini Kemenag, yang telah memberikan jalan bagi unifikasi lewat berbagai forum. Hal itu mengingat arti penting penyatuan penentuan awal bulan Kamariah.
Fakta ada integrasi dari beberapa pihak, terutama masyarakat yang taat kepada ulil amri, menjadi salah satu aspek penting dari upaya penyatuan itu. Salah satu sumbangsih signifikan adalah Lokakarya Internasional ”Upaya Penyatuan Kalender Hijriah: Sebuah Upaya Pencarian Kriteria Hilal yang Objektif” pada hari ini di Semarang yang diadakan oleh Fakultas Syariah IAIN Walisongo.
Lokakarya itu mempunyai tujuan strategis mengingat di Indonesia ada sejumlah kalender Hijriah yang sama-sama dipakai oleh umat Islam. Saat ini sedikitnya 6 varian kalender Hijriah; yaitu versi Jawa Islam, Muhammadiyah, Masjid Menara Kudus, Persis, dan versi Kemenag hasil perhitungan Badan Hisab Rukyat (BHR) yang beranggotakan berbagai unsur ormas Islam dan pakar terkait.
4 Negara ASEAN
Keberagaman kalender Hijriah pada satu sisi menunjukkan kepesatan perkembangan ilmu falak dalam dunia Islam, namun pada sisi lain mengarah pada risiko perbedaan dalam penentuan awal bulan itu, yang secara tidak langsung mengusik kekhusyukan dalam beribadah. Terlebih pada tahun Hijriah ada tiga bulan istimewa bagi Islam, yakni Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, yang mengandung ritual ibadah massal.
Pembicaraan komprehensif secara teknis tentang kalender Islam internasional sebenarnya telah dipublikasikan pada 1984. Bahkan paradigma pemikiran konsep itu sudah mengemuka sejak 1978. Pada tahun itu juga ada konferensi internasional penentuan awal bulan Kamariah di Istanbul Turki.
Salah satu pernyataan dari konferensi tersebut menyebutkan bahwa hasil rukyat di suatu tempat tidak hanya berlaku untuk daerah itu tetapi lebih dari itu, yakni keberhasilan rukyat tersebut berlaku untuk seluruh tempat di muka bumi. Jadi jelas, tujuan konferensi di Istanbul itu demi kepentingan penyusunan kalender Islam yang berlaku secara menyeluruh.
Namun hingga detik ini, belum ada titik terang kapan unifikasi kalender Hijriah bisa terwujud meskipun tahun lalu ketua Organisasi Konferensi Islam (OIC) sudah mengajak negara anggota menggunakan kalender Hijriah terpadu itu.
Terkait dengan upaya unifikasi justru beberapa negara anggota ASEAN sudah mengambil langkah maju. Mereka berhasil menemukan titik temu persoalan kriteria hilal baru di tingkat Asia Tenggara. Melalui forum Mabims pada 1994, empat negara yang berpenduduk may
oritas muslim, yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura, menyepakati kriteria ketinggian hilal yang memedomani penentuan awal bulan Hijriah.
oritas muslim, yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura, menyepakati kriteria ketinggian hilal yang memedomani penentuan awal bulan Hijriah.
Tapi sekali lagi, kemajuan itu baru kesepakatan di atas kertas. Faktanya, tak semua umat Islam di empat negara tersebut mengikuti. Hingga saat ini pun di Indonesia masih terjadi perbedaan penetapan awal bulan versi organisasi kemasyarakatan (ormas) dan versi ketetapan pemerintah.
Padahal pemerintah tidak bisa memaksa ormas-ormas yang berbeda pandangan soal penentuan awal bulan tersebut untuk tunduk pada ketetapan pemerintah. Pasalnya landasan konstitusional negara secara tegas menyebutkan kebebasan menganut kepercayaan dan keyakinan masing-masing. (10)
– Dr H Ahmad Izzuddin MAg, Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia, dosen IAIN Walisongo Semarang
Leave A Comment