Oleh: Imam Yahya

Di tengah era globalisasi masyarakat Indonesia, santri bukanlah nama baru yang lekat menjadi sebutan bagi sekelompok komunitas pemakai sarung  lulusan pesantren. Maka tak heran kalau di komunitas santri seperti di Pekalongan atau Kaliwungu Kendal pakaian sarung juga dipakai di berbagai acara publik baik formal maupun informal.
Dulu dua kota tersebut identik sebagai kota santri, karena di manapun tempat tersedia pondok pesantren hingga kota tersebut identik dengan kota santri. Mereka tidk saja yang masih mengaji di bangku kuliah pesantren tetapi sebutan santri juga diberikan kepada masyarakat yang lokasinya dekat pesantren, dan tradisinya seperti santri-santri pesantren.
Tetapi sekarang komunitas santri tidak lagi identik dengan kelompok sarungan. Santri juga berarti kelompok masyarat yang kuat agamanya. Meminjam istilah Clifford Geertz, santri adalah kelompok masyarakat yang berpegang teguh pada nilai-nilai agamanya. Geertz membedakan kelompok ini dengan kelompok abangan dan priyayi yang notabene orang-orang umum dalam pengembangan nilai-nilai agama.
Sebagai bagian dari masyarakat global, komunitas santri atau kelompok bersarung yang merupakan representasi dari umat Islam di Indonesia akan berhadapan dengan berbagai persoalan kontemporer. Mereka hidup dan berkembang  di tengah masyarakat modern, sementara kondisi obyektif mereka masih jauh dari panggang. Alih-alih bisa bertahan sebagaicultural broker, seperti diandaikan oleh Hiroko Horikoshi, banyak di antara kelompok santri yang hanyut terbawa arus modernisasi, tidak saj di bidang ekonomi tetapi juga bisang sosial dan politik.
Inilah tantangan santri ke depan menghadapi era globalisasi yang sedang menghantam sebagian besar seluruh masyarakat Indonesia. Agar santri eksis maka harus mengetahui strategi untuk membuktikan bahwa dirinya survive fi kulli zamanin wa makainin.

Tantangan ke Depan

Perkembangan informasi dan teknologi sekarang merupakan sebuah keniscayaan di era globalisasi sekarang ini. Tak ada satupun kelompok masyarakat yang bisa menolaknya, termasuk komunitas santri dalam mengarungi kehidupan ini. Bahkan saking gencarnya informasi dan tehnologi, banyak orang yang menjadikannya sebagai referensi utama dalam melakukan berbagai aktifitas termasuk para santri dalam membantu proses belajar mengajar di pesantren.
Tentu, kemajuan tehnologi apapun akan memberikan dampak positif dan negatif terhadap dalam segala aspek kehidupan para penggunanya. Bagi santri yang kebanyakan hidup jauh dari keluarga, kemajuan tehnologi bisa memberikan nilai positif mendekatkan jarak dengan keluarga.
Kalau pada zaman dahulu, santri menunggu kiriman wesel dari orang tua, baik melalui pos wesel atau ada kerabat yang datang di Pesantren, sekarang ini kiriman dari keluarga bisa diterima hanya dalam hitungan menit melalui sms banking atau tranfer lewat atm yang tersedia di seantero negeri ini.
Buku atau kitab yang selama ini hanya menggunakan kitab-kitab klasik nan lusuh, sekarang berubah menjadi electronic kitab yang bisa disimpan dalam flashdisck atau cd yang bisa memuat banyak tulisan kitab baik klasik maupun kitab-kitab kontemporer. Kebutuhan akademik santri tersedia dengan mudahnya, tergantung kepada kemauan santri untuk giat belajar.
Namun sebaliknya, perkembangan tehnologi juga bisa memberikan kemafsadatan bagi santri. Budaya silaturrahmi santri kepada para asatidz bisa berganti dengan silaturrahmi melalui sms (short message service) antar hp. Begitu juga dengan seiring perkembangan tehnologi, baca Qur’an sering diganti dengan caset dan flashdisc. Tadarrus tidak lagi menjadi kebiasaan para santri mengisi waktu luangnya dengan membukan mushaf al-Qur’an.
Untuk itu diperlukan strategi para santri untuk meminimalisir berbagai kekurangan menghadapi perkembangan tehnologi dengan beberapa hal; pertama, santri harus bisa proporsional dalam memamnfaatkan internet yakni sesuai dengan yang dibutuhkan. Salah satu madharat yang dikhawatirkan adalah penggunaan internet yang berlebihan hingga lupa dengan waktu. Kehadliran didunia maya harus dipastikan untuk mendukung proses pembelajaran yang efektif dan efisien bukan sebaliknya mendatangkan pengaruh yang negatif.
Kedua, adalah santri harus bisa memilah dan memilik kontens internet yang sesuai ndengan yang diharapkan membantu menambah ilmu pegetahuan. Boleh saja internet dimanfaatkan untuk menambah silaturrsahmi dengan keluarga atau sahabat yang tidak bisa dijangkau secara langsung. Hindarkan konten yang jorok dan maksiyat seperti konten pornografi dan pornoaksi, yang secara bebas bisa di dapatkan di dunia maya.

Peran Santri

Santri harus bisa survive di tengah era globalilsasi sekarang ini. Santri harus bisa menjadi pelopor untuk penggunaan informasi dan tehnologi ungtuk kemanfaatan kehidupoan belajar mengajar di dunia pendidikan. Bahkan setelah luluspun, santri harus bisa berperan sebagai cultural broker, sebagaimana digambarkan Hiroko Horikoshi, yakni tokoh masyarakat yang bisa memilah dan milih sekaligus sebagai penyaring berbagai budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang kental dengan nilai-nilai keislaman.
Karya Max Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism tentang  keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme, mengilhami peran santri sebagai tokoh yang bisa mengamalkan nilai-nilai keislaman di tengah masyarakatnya. Kalau doktrin agama bisa mengilhami kapitalisme di barat, nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin harus bisa diterapkan sebagai inspitrasi peradaban dunia yang damai dan sejahtera.
Untuk itu ada dua peran santri dalam menerapkan nilai-nilai keagamaan di kehidupan masyarakat sekarang ini, yakni; sumber authoritatif dan sumber persuasif. Sebagai sumberauthoritatif, mereka bisa berperan sebagai da’i atau Imam yang bisa menjadi tenmpat bertanya masyarakat dalam menyelesaikan berb
agai persoalan keagamaan yang ada di masyarakat. Peran ini penting karena para santri inilah yang sesungguhnya menguasai ilmu-ilmu agama di banding komunitas lain.
Peran kedua adalah sebagai sumber persuasif. Mereka bisa menjadi apa saja dengan berbagai profesi, bisa pedagang, penguasa, pegawai swasta, PNS, dan aktifis politik, aktifis LSM dan sebagainya. Di tengah menjalankan kewajiban sebagai profesinya, mereka menerapkan nilai-nilai Islam yang sesuai dengan profesi yang digeluti. Muncul politisi santri, wartawan santri, pedagang santri dan lain sebagainya.
Tanpa memerankan dua peran strategis di atas, santri hanya akan tinggal nama. Di kancah publik inilah santri akan bisa bertahan bahkan bisa menjadi cultural brokers bagi masyarakatnya. Semoga, wallohu a’lam.

(Tulisan ini disampaikan pada acara Public Discussion di Pondok Pesantren “Darun Najah” Jerakah Semarang, 3 Juli 2012).