Oleh: Prof Dr H Nur Khoirin MAg

Sumber Artikel: jatengdaily.com

Prof Dr H Nur Khoirin MAg

Prof Dr H Nur Khoirin MAg

Jatengdaily.com – Hari ini, tanggal 2 Mei 2024, bangsa Indonesia memperingati Hari  Pendidikan Nasional (Hardiknas). Peringatan ini untuk membangkitkan semangat dan perjuangan gigih Ki Hadjar Dewantara, “Bapak Pahlawan Pendidikan” yang mengantarkan bangsa menuju gerbang kemerdekaan melalui jalur  pendidikan. Ki Hadjar Dewantara, yang nama aslinya Raden Mas Soewardi, dikenal sebagai sosok kritis terhadap kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda yang elitis, yang hanya untuk kalangan atas saja.

Beliau lantang menyuarakan hak pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, terlepas dari latar belakang sosial maupun ekonomi. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, bersama dua rekannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, beliau mendirikan Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang berlandaskan filosofi “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”.

Filosofi ini mencerminkan prinsip kepemimpinan yang ideal, guru sebagai pemimpin harus menjadi teladan, pembimbing, dan pendorong bagi kemajuan para muridnya. Tujuan pendidikan menurut Ki Hajar adalah untuk menciptakan generasi bangsa yang cerdas, mandiri, dan berkarakter mulia.

Tujuan pendidikan ini ditegaskan kembali dalam UU-20/2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3).

Tidak hanya mencerdaskan otak.
Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut sudah sangat lengkap. Tujuan pendidikan tidak hanya untuk mencerdaskan otak, mengentaskan buta huruf, tidak hanya untuk memupuk kemampuan teknis dan meningkatkan profesionalme.

Tetapi juga harus mampu mendidik manusia Indonesia agar beriman dan bertaqwa, berakhlaq mulia, mandiri, dan bertanggung jawab. Maka tugas seorang guru atau pendidik tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, agar muridnya pintar teori, agar muridnya juara olimpiade ilmu pengetahuan tingkat dunia, dan agar muridnya memiliki intletualitas yang hebat. Tidak cukup. Tetapi yang lebih penting lagi adalah seorang guru harus mampu mendidik, membimbing, dan mengantarkan murid-muridnya kelak menjadi pribadi-pribadi yang unggul lahir batinnya.

Hasil kerja pendidikan sekarang ini sudah semakin maju. Tidak ditemukan lagi orang yang buta huruf. Tingkat  pendidikan masyarakat dengan wajib belajar 9 tahun, sudah semakin meningkat. Jumlah sarjana semakin banyak.

Para ahli dan profesional dalam berbagai bidang terus berkembang. Berbagai cabang ilmu pengetahuan juga terus tumbuh dan bercabang. Lembaga pendidikan modern terus dibangun, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.

Program beasiswa prestasi dan berbagai kemudahan fasilitas belajar juga terus digalakkan.

Pertanyaannya, apakah tingginya tingkat pendidikan seseorang ada relevansinya terhadap tingkat kesalehan seseorang? Ternyata jawabannya belum tentu, tidak mesti. Seharusnya semakin tinggi kepinteran manusia, mestinya semakin tinggi moralitasnya, semakin arif bijaksana, semakin santun dan peka.

Seperti ilmu padi, semakin tua semakin berisi dan menunduk. Dalam Al Qur’an disebutkan, “hanya hamba yang berilmu (ulama) yang takut kepada Allah” (QS. Al Fathir 28)

Tetapi dalam kenyataannya terjadi paradoks. Semakin maju pendidikan dan peradaban, kesalehan justru dirasakan semakin merosot. Kejahatan moral semakin marak.

Pelanggaran hukum yang serius justru dilakukan oleh orang-orang terdidik. Korupsi dilakukan oleh orang-orang terkenal, profesional dan memiliki intelektual. Ikatan-ikatan sosial semakin memudar, hidup di kota besar diliputi nafsi-nafsi, sikap individualisme meningkat, hedonisme dan pamer menjadi gaya hidup, kasih sayang dan kesantunan lenyap, kepekaan dan kepedulian semakin menipis. Pergaulan sosial diliputi dengan sikap syuudhdhan, hasud (iri dengki), dan persaingan yang tidak sehat.

Ini pasti ada hal yang kurang dalam sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan modern yang lebih fokus kepada pengembangan otak, transfer teori dan kecakapan teknis, perlu diimbangi dengan pendidikan akhlaq untuk membangun pribadi-pribadi yang unggul dalam intelektual dan matang dalam mental spritual.

 Pendidikan akhlaq harus diperkuat.
Kita sering salah prioritas. Anak-anak TK sudah disibukkan dengan les-les khusus dengan memanggil guru privat yang mahal, seperti les komputer, matematika, bahasa, nyanyi, musik, akting, dan keahlian-keahlian orang dewasa yang belum waktunya.

Tentu hal ini baik dan tidak dilarang. Tetapi ada prioritas penting, yaitu pendidikan akhlaq harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini sebagai pondasi. Anak-anak yang terpenting harus ditanamkan akidah yang kuat dan prinsip-prinsip hidup yang baik. Akidah yang lurus dan akhlaq yang baik harus menjadi dasar yang kuat yang akan membentuk watak selanjutnya. Setelah itu anak-anak boleh belajar ketrampilan apa saja sesuai minat dan bakatnya.

Al Qur’an mengajarkan prinsip-prinsip pendidikan yang harus ditanamkan kepada anaka-anak, sebagaimana nasihat Luqman Al Hakim ketika mendidik anaknya (QS. Luqman ayat 13 sd 19).

Setidaknya ada 5 prinsip yang harus ditancapkan dalam dada anak sejak belia sebagai berikut :

Tanamkan jiwa tauhid yang kuat. Ya bunaiyya la tusyrik billah, “wahai anakku, janganlah engkau mensekutukan Allah” (ayat 13). Allah Maha Esa, tidak boleh dibanding-bandingkan dengan benda apapun. Orang tua harus tegas mengarahkan, dan bukan membebaskan untuk memilih sendiri. Tidak boleh ada toleransi dalam akidah.

Perintahkan anak-anak untuk selalu berbuat baik kepada orang tunya (birrul walidain). Ibunya yang telah mengandung dan mengasuhnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun (Ayat 14). Ridlallah bi ridlal walidain wa sukhthullah bi sukhthil walidain, ridla Allah bergantung ridla kedua orang tua.

Kemarahan Allah juga tergantung kemarahan kedua orang tua. Tidak ada gunanya salat rajin, puasa giat, zakat, berdzikir sepanjang malam, tetapi kepada kedua orang tua tidak taat dan durhaka. Jika misalnya orang tua berbeda keyakinan sekalipun, anak harus tetap mempergaulinya di dunia secara baik (Ayat 15).

Tanamkan dalam dada anak-anak, bahwa ada pengawasan dan balasan dari setiap perbuatan manusia (ayat 16). Setiap amal sekecil apapun, meskipun tidak ada mata yang melihat atau telinga yang mendengar, tetapi Allah Maha Melihat dan mencatat, sehngga tidak ada yang terlewat dari pengawasan dan tanggung jawab.
Wahai anakku! Laksanakanlah salat, ambillah bagian dalam amar makruf nahi mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting (Ayat 17).

Anak-anak harus selalu diingatkan, agar dalam kesibukan apapun tidak mneinggalkan shalat. Pekerjaan dan profesi apapun harus dijadikan media dakwah, mengajak orang dalam kebaikan. Dalam melakukan kebaikan akan ada banyak halangan dan cobaan, maka harus tetap bersabar.

Ajarkan sejak dini agar anak-anak tidak sombong, tetapi rendah hati, tidak mengeraskan suara jika berbicara, tidak memalingkan muka, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri (Ayat 18,19). Harus ditanamkan juga, bahwa kepinteran seseorang, sehebat apapun, tidak akan bisa menandingi ilmu Allah, yang Maha luas tidak terbatas.

Al Qur’an mengingatkan”diatas orang alim masih ada yang lebih alim” (wa fauqo kullu dzi ilmin ‘alim). Di atas langit masih ada langit.

Inilah prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Al Qur’an yang harus menjadi pondasi sebelum dibangun ilmu pengetahuan yang lain. Agar orang yang berilmu memiliki nilai lebih dari orang yang tidak berilmu. Agar ilmuan tidak sombong menantang Tunan, tetapi justru temuan-temuannya semakin mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat.

Ja’alanallahu minal ‘aidin wal faizin wal maqbulin, fi kulli‘amin wanahnu bi khoirin. Taqabbalallu minna waminkum taqabbal ya karim. Waqurrobbighfir waanta khoirurrahimin.

Disampaikan pada Khutbah Jumat di Masjid Raya Baiturrahman Simpang 5 Semarang, 23 Syawal 1445H/ 3 Mei 2024M.

Prof. Dr. H. Nur Khoirin YD., MAg, Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang/Advokat Syari’ah/Mediator/Arbiter Syari’ah, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/ Ketua Bidang Remaja da Kaderisasi Masjid Raya Baiturrahman Semarang/Wakil Sekretaris II PP-Masjid Agung Jawa Tengah/Anggota Komisi Hukum dan HAM MUI Jawa Tengah/Ketua Nazhir Wakaf Uang BWI Jawa Tengah. Tinggal di Jl. Tugulapangan H.40 Tambakaji Ngaliyan Kota Semarang.  Jatengdaily.com-St