Ketika mendengar kata “penghulu”, spontan bayangan kita tertuju pada sosok laki-laki yang memakai baju sapari, berpeci, dengan langkah mantap dan berwibawa yang akan menuntun mempelai laki-laki mengucapkann ijab qabul pernikahan. Sebuah acara sakral bagi setiap orang yang akan melepaskan masa lajangnya menuju suasana baru dalam mahligai rumah tangga, dengan iringan doa semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Gambaran sosok penghulu yang seperti ini, seakan berubah total setelah Irjen Kementerian Agama RI, M Jassin memperkirakan bahwa ada korupsi KUA (penghulu) sebesara 1,2 Trilliyun. Penghulu tidak lagi sebagai sosok berwibawa tetapi sosok yang suka menerima uang kutipan di tengah kegembiraann calon mempelai laki-laki dan perempuan.
Hitungan 1,2 Trilliyun bukan angka riil yang menjadi bukti korupsi yang telah dilakukan. Angka itu didasarkan pada jumlah pernikahan di Indonesia selama satu tahun dikalikan dengan lima ratus ribu, distandarkan seperti di berbagai KUA DKI Jakarta. Meski belum jelas, namun terbangun opini publik bahwa di lembaga KUA di tiap kecamatan, terjadi korupsi karena adanya gratifitasi yang dilakukan oleh para penghulu, pasca upacara pernikahan.
Bagi Bimas Islam Kementerian Agama RI, lewat Dirjen Bimas Islam Prof. Abdul Jamil (Suara Merdeka, 29/12/12), opini ini terlalu memojokkan anak buahnya di tingkat paling bawah, yakni para penghulu di KUA. Sosok penghulu dan perannya di tengah masyarakat jangan hanya dilihat dari aspek ekonomis semata, tetapi di sana ada aspek sosiologis dan kultural. Salah satunya adanya budaya memberi “bisyaroh” kepada penghulu yang dilakukan secara sadar baik oleh penyelenggara negara (penghulu) sebagai penerima maupun masyarakat sebagai pengguna jasa penghulu.
Tugas Penghulu
Secara sosial, penghulu tidak saja diakui sebagai juru nikah tetapi mereka juga dijadikan rujukan dalam berbagai persoalan agama yang berkembang di masyarakat. Dari persoalan pernikahan, perceraian, kewarisan, persoalan ibadah zakat dan puasa, hingga persoalan bagaimana menyelesaikan konflik antar tetangga dan masyarakat. Peran inilah yang menjadikan penghulu tidak hanya sebagai petugas pencatat nikah secara legal formal, tetapi lebih dari itu mereka juga dijadikan rujukan sosial masyarakat.
Dalam PMA No. 30 tahun 2005 dinyatakan bahwa penghulu adalah pegawai negeri sipil sebagai pencatat nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Mentri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untu melakukan pengawasan nikah-rujuk menurut Agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.
Sementara tugas penghulu sebagaimana disebutkan dalam Peraturan MENPAN Nomor:PER/62/M.PAN/6/2005, adalah melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah-rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah-rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah-rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan nikah-rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat, dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan.
Tugas-tugas formal inilah yang kemudian disinyalir bahwa penghulu melakukan “korupsi” berjamaah hingga 1,2 trilliyun sebagaimana berkembang menjadi polemik di masyarakat. Gaji yang diterimanya sebagai penghulu sudah cukup untuk melakukan perannya sebagai seorang PNS berprofesi penghulu.
Mungkin benar apa yang disampaikan Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, penghulu tidak salah tetapi perlu introspeksi bahwa peran ganda dengan imbalan ganda ini yang sesungguhnya perlu diluruskan. Tanpa pretensi membela atau tidak membela profesi penghulu, posisi penghulu di masyarakat menjadi sangat dominan. Terjadinya transaksi “bisyaroh” yang diperselesihkan sekarang ini, tidak hanya karena kesalahan penghulu tetapi ada budaya saling menghargai di tengah masyarakat muslim, sehingga penghulu yang diundang ke rumah perlu diberikan sekedar “bisyaroh” karena transportasi dan waktu lebih yang harus diberikan seorang penghulu dalam sebuah perhelatan perkawinan.
Di Tengah Pusaran Kekuasaan
Ketika peran ganda penghulu dilihat hanya dengan pendekatan politik semata, maka pendekatan sosial budaya menjadi sirna. Imbalan yang biasa diterima oleh penghulu menjadi sesuatu yang bermakna gratifikasi bagi pejabat negara termasuk penghulu. Tugas pokok penghulu sebagai petugas pencatat nikah merupakan tugas utama yang dilaksanakan seorang penghulu. Sebagai PNS mereka telah mendapatkan gaji dan tunjangan lain yang berkaitan dengan kepenghuluan.
Pemberian imbalan atau gratifikasi inilah yang dalam pembacaan politik menjadi sesuatu yang dilarang demi hukum. Sesuai dengan Pasal 12 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, pemberian hadiah ataupun janji tidak boleh diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berkaitan dengan tugas dan jabatannya.
Berdasarkan Peraturan PemerintahNo. 51 tahun 2000Tentang Biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk, dinyatakan bahwa biaya pencatatan nikah sebesar Rp 30.000,-. Sebuah angka yang sangat rasional untuk biaya pernikahan bagi golongan masyarakat manapun, baik masyarakat ekonomi lemah, menengah maupun golongan kaya.
Untuk itulah perlu pembenahan baik menyangkut masalah besarnya biaya pernikahan maupun sikap dan perilaku pejabat negara untuk menolak berbagai hadiah atau “bisyaroh” yang masuk kategorisasi gratifikasi. Biaya pernikahan dengan berbagai medan yang harus dilalui oleh penghulu, pendanaannya harus ditanggung negara. Penghulu di tempat yang terpencil harus mendapatkan tunjangan lebih di bandingkan dengan penghulu yang bertugas di daerah normal. Jangan semua diukur dengan standar normal seperti di Jakarta.
Yah itulah sebuah realita kehidupan di dunia KUA dibawah payung Kementerian Agama yang disalahfahami oleh fihak-fihak tertentu. Para penghulu harus membuka pintu lebar-lebar penilaian publik, karena sesungguhnya penghulu adalah jabatan pulik yang setiap saat selalu dipantau oleh masyarakat.*) Wallohu a’lamu bis showab.
*) Dr. Imam Yahya, MA. Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.
Leave A Comment