syariahwalisongo.ac.id – Penyatuan kalender hijriah dalam penetapan awal bulan bulan Ramadhan dan Syawal di Indonesia, sering kali terjadi perbedaan.
Perbedaan terjadi antara PWNU, pemerintah dalam hal ini kementerian Agama RI dengan ormas Islam Muhammadiyah. Hal itu disampaikan Slamet Hambali, dalam Seminar Internasional bertema “Toward Hijirah’s Calender Unification yang digelar Fakultas Tarbiyah di Hotel Siliwangi, kemarin.
“Sejak 1990 hingga sekarang, antara Muhammadiyah dengan Kemenag RI, selalu terjadi perbedaan dalam penetapan awal bulan Ramadan dan awal Syawal,” tandasnya.
Menurut Ketua Lajnah PWNU Jateng itu menyampaikan, dari seluruh ormas Islam yang ada di Indonesia saat ini, hampir keseluruhan sudah sependapat dengan pemerintah dalam hal penetapan awal bulan dalam tahun hijriah.
Antara lain, ormas Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Al-Irsyad, Al-Islamiyah, Arrobithoh Al-Alawiyah dan persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Juga Matholaul Anwar, Attihadiyah, Azikra, Al-Wasliyah, IKADI, Syarikat Islam Indonesia, Persatuan tarbiyah Islamiyah (Perti), Dewan Dakwah Islamiyah, dan sebagainya.
Wakil sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Prof Dr Susiknan Azhari MA menyatakan, terjadinya perbedaan karena konflik yang mendasari. Utamanya, dalam ormas besar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah.
Menurut Susiknan, selama ini yang terjadi di Indonesia sebenarnya sudah sama dalam penetapan awal bulan kalender hijriah. “hanya ada dua bulan yang sering terjadi perbedaan, yakni Ramadan dan Syawal. Bulan lainnya saya kira sudah sama,” kata Susiknan.
Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Imam Yahya menyatakan, untuk penyatuan kalender hijriah sebenarnya bisa dilakukan. Asal, tokoh-tokoh pemuka agama ataupun ormas Islam mengikuti aturan pemerintah.
Sebab, fenomena di Indonesia ini, pemimpin atau tokoh agama sangat memiliki pengaruh besar bagi umatnya.(soim/bud)