Oleh: Dr. Imam Yahya, M.Ag.
(Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang)
Merebaknya isu seputar NII akhir-akhir ini, tidak saja menjadi problem politik pemerintah tetapi juga menjadi beban para penyelenggara pendidikan termasuk kalangan Perguruan Tinggi baik PTN/PTAIN maupun PTS/PTAIN.
Civitas akademika Perguruan Tinggi dianggap sebagai kader sangat potensial, tidak saja karena aspek kecerdasan dan kearifannya dalam menerima ide-ide dasar NII, tetapi juga kemampuannya untuk menyebarkan visi misi NII kepada masyarakat luas. Dua alasan inilah yang kemudian di introdusir kader-kader NII baik di Jakarta maupun di Semarang menjadikan kampus sebagai pusat perekrutan.
Menyadari target utama inilah, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang mengadakan Seminar Nasional dengan tema “Menangkal Penetrasi Pemikiran Dan Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) ke Dunia Kampus”. Acara di gelar Kamis, 23 Juni 2011 mulai jam 09.00 pagi di Aula I Lantai II, Kampus I IAIN Walisongo Semarang. Hadir sebagai narasumber Kasubdit III Intelkam Polda Jateng (AKBP Kumpul, BA.), Peneliti dan pengamat NII (Umar Abduh), IAIN Walisongo (Drs. H. Abu Hapsin, M.A., Ph.D.), dan Rektor IAIN Prof. Dr. H. Muhibbin, MA.
Bagi Fakultas Syariah sebagaimana disampaikan oleh Dekan Fakultas Syariah, Dr. Imam Yahya, MA. Seminar atau diskusi merupakan upaya yang sangat tepat bagi civitas akademika baik PTN maupun PTS, agar isu NII tidak menjadi bola panas yang merugikan warga kampus. IAIN tidak apriori dengan isu NII, tetapi rasional dan ilmiah. Sebagai sebuah PTN/PTAIN, civitas akademika perlu merespon isu NII ini secara cerdas dan kontekstual. Meski mayoritas menolak gagasan NII, tetapi pasti dengan alasan-alasan yang resonable.
Tentu IAIN tidak bisa berjalan sendiri, untuk itu diskusi ini juga melibatkan para penyelenggara kampus lain di Jawa Tengah ini dengan mengundang para pimpinan PTN/PTAIN dan PTAIS khususnya bidang kemahasiswaan untuk merumuskan upaya-upaya konkit mensikapi isu NII secara komprehensif.
IAIN sebagai perguruan tinggi Islam Negeri di Jawa Tengah ini mempunyai tanggung jawab yang lebih karena isu ini tidak saja berdimensi luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berhijrahnya mereka yang ikut gerakan ini, dari NKRI ke NII harus segera di antisipasi dengan meneguhkan kembali urgensi NKRI. NKRI merupakan bentuk final negara Indonesia yang kita tegakkan bersama. Secara idiologis NKRI tidak bertentangan dengan fiqh politik dalam Islam (fiqh siyasah). Mengacu pada sejarah Islam klasik, piagam Madinah menjadi tonggak berdirinya Negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad.
Dalam negara Madinah, hidup secara berdampingan berbagai suku dan agama. Sebut saja kelompok kaum muslim yang terdiri dari para Muhajirun yang datang dari Makkah, dan kelompok Ansor yang asli Madinah. Begitu juga dengan kelompok Yahudi yang terdiri dari Bani Qainuqa, bani Nadhir, bani Quraidhah dan kelompok Yahudi Khaibar menjadi salah satu penghuni negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad. Bukankah ini memberikan pelajaran kepada kita betapa kehidupan politik pada masa Nabi sangat pluralistik? Ini berbeda dengan persoalan idiologis, bahwa sembahan orang kafir berbeda dengan sembahan kaum muslimin, Agama orang Yahudi tetap berbeda dengan agama kaum Muslimin. Dalam persoalan teologis tak ada kompromi dengan selain Islam, tetapi dalam persoalan politik, ekonomi, dan sosial terbentang luas ajaran Islam yang bersifat universal dan layak untuk diterapkan di mana saja dan kapan saja. Wallohu a’lam.*)
Leave A Comment