Ada persepsi  di tengah masyarakat, “semakin mahal biaya pendidikan maka pendidikan semakin berkualitas sebaliknya semakin murah biaya pendidikan maka kualitas dipertanyakan”.  Maka pengeertiannya apabila ada keinginan untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas harus bisa membayar mahal biaya pendidikan. Dalam istilah jawa dikenal  jer basuki mawa bea, untuk mendapatkan kebaikan dan kualitas harus menggunakan biaya.
Para penyelenggaran pendidikan di tingkat dasar dan menengah berdalih bahwa biaya pendiikan yang berkualitas membutuhkan dana yang tidak sedikit. Banyak sekolah-sekolah swasta di Semarang yang mempunyai kualitas tinggi bisa dipastikan menerapkan biaya mahal, baik SPP maupun sumbangan pendidikan lainnya.
Tak ketinggalan sekolah-sekolah Negeri yang dibiayai oleh pemerintah juga tak kalah dengan sekolah swasta. Mereka menarik biaya lebih tinggi dari sekolah lainnya sebagai upaya meningkatkan kualitas yang tingggi. Ada program RSSN, SSN, RSBI, hingga SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) mewajibkan peserta didik untuk menambah biaya pendidikan melalui  lembaga Komite Sekolah. Kebijakan pemerintah yang menganggarkan 20 % untuk biaya pendidikan seolah tak ada pengaruh bagi dunia pendidikan kita. Sekolah gratis hanya tiunggal iklan sekolah di TV, yang ada adalah sekolah mahal.
Rektor Universitas Diponegoro  Prof. Dr. H. Sudarto, menyatakan bahwa biaya SPI salah satu SMA di sekolah anaknya lebih mahal dari  SPI di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di UNDIP.  Begitu juga dengan PTN lainnya yakni UNNES, Polines dan IAIN Walisongo, lebih murah bila dibandingkan dengan SPP SMP/SMA di Semarang. Bagaimana bisa terjadi biaya pendidikan menengah lebih tinggi dari biaya pendidikan di Perguruan Tingggi.
Dalam sebuah Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Kompas Jawa Tengah pada Jumat (26/9) bertema Biaya Pendidikan Murah. Penyelenggara mengundang para Rektor PTN dan PTS dan pakar pendidikan di Semarang dikupas berbagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Perguruan Tinggi dengan biaya yang terjangkau. Hadir Rektor UNDIP, UNNES, IAIN Walisongo, Polines, UNWAHAS, UNIMUS, Universitas Dian Nuswantoro, IKIP PGRI dan berapa perwakilan dari PTS di Semarang, serta pakar pendidikan dan anggota DPRD Jawa Tengah. Hadir pula ibu Wabug Hj Rustriningsih, M.Si..
Di beberapa PTN seperti  UNDIP, UNNES, Polines dan IAIN Walisongo, SPP tidak lebih dari satu juta dua ratus. Mereka beralasan biaya pendiikan di kampus negeri disokong biaya besar dari pemerintah, sehingga diharapkan kampuas negeri bisa menampung masyarakat kurang mampu yang membutuhkan pendidikan. Hal yang terpenting dalam dunia pendidikan tinggi adalah soal kualitas peserta didik. Sekarang ini di PTN tidak ada lagi istilah titip kursi atau apapun namanya.
Rektor UNNES menyatakan bahwa kampusnya dihuni oleh sekitar 50% kalangan menegah ke bawah. Tetapi beliau yakin bahwa orang-orang yang berltar belakang ekonomi rendah biasanya memiliki semangat pendidikan yang tinggi. Beberapa mahasiswa berprestasi banyak datang dari keuarga tidak mampu.
 Begitu juga Rektor IAIN Walisongo yang diwakili oleh Dekan Fakultas Syariah, Dr. Imam Yahya, M.A., juga menyampaikan alasan bahwa di kampus IAIN hanya menerapkan SPP sebesar enam ratus ribu. Imam beralasan bahwa sebagian besar mahasiswa IAIN berasal dari kalangan menegah ke bawah, apalagi yang berasal dari desa. Beliau yakin kampusnya menjadi harapan bagi sekian banyak mahasiswa  dalam menuntut ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat.
Tiga tahun terakhir ini IAIN mulai dilirik oleh masyarakat Semarang, bahkan pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2011/2012 beberapa bulan yang lalu pendaftar IAIN hingga lima ribuan pendaftar, sementara kursi yang tersedia hanya seribu lima ratus mahasiswa.  Apalagi upaya konversi IAIN ke UIN (Universitas Islam Negeri) yang membuka Fakultas Saint dan Tehnologi serta Fakultas Sosial Humaniora menambah minat masyarakat untuk memilih IAIN/UIN sebagai tempat kuliah.