Berbeda dengan intelektual publik yang suka gembar-gembor walaupun sebenarnya miskin basis keilmuan dan metodologi, intelektual ikon cenderung lebih tertarik untuk melakukan studi secara mendalam dan melakukan verifikasi secara akurat sebelum mengeluarkan pendapat dan mempublikasikan gagasannya. Entah dalam bentuk teori ataupun sekedar analisis dalam merespon kondisi aktual.
Aktivitas dan tanggungjawab moral yang diemban intelektual ikon memang sangat besar dan melelahkan. Karena itu mencari intelektual ikon di tanah air tidak mudah. Tidak seperti mencari sarjana dengan almamater yang tidak jelas. Karena menjadi intelektual ikon tidak cukup hanya dengan mengandalkan uang. 
Tokoh muda tunas kali ini akan menampilkan young intelectual icon yang jumlahnya di negeri ini dapat dihitung dengan jari. Terlahir dengan nama Jawa deles, Sumanto. Dan agar lebih keren dan nyantri di embel-embeli Al Qurtuby. Barangkali karena nama itu, sosok yang satu ini tampil ceplas-ceplos, berani menentang mainstream, cerdas tapi toleran. 
Sumanto Al Qurtuby sejak awal kuliah di IAIN Walisongo sudah bergaul dengan berbagai aliran pemikiran agama, filsafat, sosiologi dan lain-lain terutama selama belajar intensif bersama Justisia (Majalah Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang). Jadilah sosok anak muda yang anti kemapanan, termasuk dalam bidang pemikiran keagamaan. Dengan sendirinya fundamentalisme dan kekerasan atas nama agama sama sekali tidak mendapat tempat yang semestinya di hati dan otak pemuda Sumanto. 
Bahkan, Sumanto Al Qurtuby semakin menapakkan jatidiri dan pilihan hidupnya dengan malang melintang dalam aktivitas dan pergaulan yang bagi sebagian besar masyarakat tergolong nyleneh, bergaul dengan pendeta, bahkan juga dengan kaum homoseksual. Untuk lebih mudah meramu aktivitas keseharian, bersama teman-teman sebayanya di IAIN Walisongo, Sumanto mendirikan ILHAM Institute (Institut Lintas Humaniora dan Agama/Institute of Cross Religion and Humanity), lembaga “interfaith” yang tujuan utamanya untuk merajut pergaulan yang “beyond belief” dan “beyond ethnic identity”. 
Salah satu bukti ketekunan dan kecermatannya dalam melakukan studi ilmiah, serta hobbynya menentang mainstream adalah tesis yang mengantarkannya meraih gelar Magister Sosiologi Agama dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Tesis Sejarah yang berisi penelusuran terhadap peran serta Tionghoa dalam penyebaran Islam di Indonesia itu berhasil memecah kebekuan teori masuknya Islam ke tanah air. Dalam situasi dan kondisi politik yang kurang berpihak kepada masyarakat etnis Tionghoa, Teori yang dikemukakan Sumanto bahwa Masyarakat etnis Tionghoa berperan besar dalam penyebaran Islam di Indonesia, menjadi angin segar bagi warga Tionghoa dan keturunannya. 
Karena mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam, konflik-konflik rasial di tanah air yang acap melibatkan etnis Tionghoa sebagai korban, dengan sendirinya akan tereliminasi, atau minimal akan terkurangi. 
Keseriusannya dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama, semakin terlihat dari kegemarannya berceramah di gereja, sudah tak terhitung aktivitasnya menyampaikan ceramah di depan jamaah umat Kristen, tidak hanya di Jawa, tapi juga ke gereja-gereja di Papua, Maluku dan bahkan sampai ke gereja-gereja terpencil. 
Sumanto memang termasuk pemuda pantang menyerah dan tidak pernah cepat merasa puas. Untuk menambah bekal pengetahuan yang dimilikinya, dia tidak segan-segan untuk jauh-jauh terbang ke negeri Paman Sam. Tahun ini, sembari mempersiapkan kelanjutan studi ke jenjang MA di bidang “peace building & conflict resolution” di Eastern Mennonite University, Virginia, USA & sekaligus jenjang doctoral (Ph.D) di Graduate Theological Union, Berkeley, USA, di sana Sumanto juga terlibat aktif dalam berbagai “pembicaraan serius” tentang perdamaian baik sebagai partisipan maupun sebagai resource person. 
Pergaulan lintas agama dan etnis serta keseriusannya terlibat aktif untuk mewujudkan perdamaian, kerukunan umat beragama dan aktivitas-aktiviats sosial lainnya itu yang semakin memperkuat pengalaman dan basis pengetahuannya sebagai bekal menjadi intelektual ikon. 
diambil dari : http://www.gusmus.net