Pertengahan Mei lalu menjadi saat bersejarah bagi Muhammad Rofiuddin, 28 tahun. jurnalis Tempo dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang ini meraih gelar master setelah dinyatakan lulus dalam sidang tesis program Magister Komunikasi Universitas Diponegoro. Tak main-main, ayah satu anak ini mengangkat judul tesis “Menelusuri Praktik Pemberian Amplop kepada Wartawan di Semarang.” Tentu saja, yang dimaksudnya adalah amplop berisi uang, yang biasa dibagikan untuk maksud agar wartawan menulis berita bernada baik.
Rofi, demikian ia akrab disapa, awalnya pesimis dengan tema penelitian tesisnya. Ia berpikir, isu amplop adalah isu generik yang sudah lama digarap AJI. “Saya sempat mengira, kawan-kawan AJI akan menganggap persoalan amplop sebagai isu lama  dan usang, meski praktek amplop hingga kini belum ada tanda-tanda berhenti, bahkan makin marak saja,” ungkapnya. Nyatanya, keberhasilan mengangkat topik ini membuat Rofi seperti tak henti mendapat ucapan selamat dan undangan diskusi dari kolega sesama anggota AJI. Muncul pula usulan agar karya ilmiahnya ini dapat diabadikan menjadi buku.
“Di Semarang, vulgarnya praktek amplop bagi wartawan seperti menjadikannya budaya yang terstruktur. Setiap kali ada acara, para penyelenggara selalu menyediakan anggaran amplop bagi wartawan,” papar pria yang pernah tiga bulan ditempatkan Tempo menjadi jurnalis di ibukota ini.
Rofi pun mengungkapkan keprihatinannya terhadap praktek amplop yang justru dilakukan institusi pendidikan. Menurutnya, para akademisi sering mengajarkan kode etik kepada para mahasiswa, tapi mereka seperti belum tahu bagaimana sulitnya menegakan kode etik itu di lapangan. “Bahkan, di satu sisi mereka mengajarkan kode etik, tapi mereka justru ikut bagi-bagi amplop, saat ada acara yang butuh liputan wartawan,” kisahnya. Rofi menekankan, hampir semua perguruan tinggi di Semarang selalu memberi amplop kepada wartawan pada saat ada menggelar event, mulai dari konferensi pers biasa sampai acara pengukuhan guru besar.
Tesis ini dikerjakan Rofi sejak Januari hingga April tahun ini, dengan menggunakan metode pendekatan  fenomenologi dan paradigma interpretatif. Salah satu kajian yang digunakan yakni teori “Habitus”-nya Pierre Bourdieu. Para wartawan penerima amplop seperti habitus. Biasanya, wartawan baru mulai dari tidak kenal amplop, tidak mau amplop, sampai akhirnya justru memburu amplop. “Kenyataan ini terjadi karena wartawan baru itu justru dipaksa menerima pembagian amplop baik dari para seniornya maupun narasumber, sehingga struktur kognitif dan mental para wartawan adalah amplop, amplop, dan amplop,” jelasnya.
Teori lain yang digunakannya yakni tentang tahapan perkembangan moral Lawrence Kohlberg. Berdasarkan pendekatan ini, menurut Rofi, para wartawan penerima amplop baru sampai tingkat pra konvensional, di mana mereka bertingkah seperti anak kecil, melakukan sesuatu atau tidak dengan tergantung imbalannya. “Persis seperti anak kecil yang baru mau melakukan sesuatu jika mendapat iming-iming permen,” tukasnya. Selain itu, ia juga menggunakan teori “The Gift”-nya Marcel Mauss, bahwa selalu ada “udang di balik batu” dalam pemberian amplop.
Informan tesis ini terdiri dari para wartawan, narasumber dan staf humas, perusahaan media, dan juga organisasi profesi, seperti PWI dan AJI. “Saya mewawancarai para wartawan dari berbagai jenis media dan berbagai pos liputan, mulai dari pos liputan basah, sampai yang biasa disebut pos kering. Para wartawan mengaku mendapat amplop berisi uang mulai Rp 10 ribu, sampai jutaan rupiah,” katanya.
Informan dari kalangan narasumber dan petugas humas diperlukannya untuk mengetahui motif/alasan pemberian amplop. Sementara itu, informan dari perusahaan media dilakukan untuk mengetahui mengapa mereka tidak memperketat aturan dan sanksi bagi karyawannya yang menerima amplop. “Khusus informan PWI dan AJI, saya ingin melihat bagaimana konsistensi dua organisasi ini dalam menegakkan kode etik,” kata lelaki asal Blora ini.
Rofi mengaku siap mendiskusikan hasil tesisnya ini dengan siapapun. “Saya sangat gembira jika tesis saya benar-benar dibukukan,” kata pria yang bisa dihubungi di nomer ponsel 081326280484 ini. Untuk pembaca Media Independen, Rofi membagi abstraksi dan koding tesisnya.
Maju terus, Rofiuddin, maju terus perjuangan mengikis budaya suap di kalangan jurnalis!